Senin, 03 Desember 2012

0 Kepariwisataan di Indonesia


Harus diakui bahwa Indonesia semakin tertinggal dalam persaingan kepariwisataan di kawasan ASEAN dibanding Thailand, Malaysia, dan Singapura. Padahal Indonesia memiliki begitu kaya dengan aneka ragam budaya dan alam yang indah dan memukau. Sebenarnya mengapa Indonesia begitu tertinggal, bahkan seakan ditinggalkan oleh wisatawan dunia belakangan ini? Memang banyak yang dialami oleh sektor pariwisata. Sekalipun, para pelakunya telah berusaha keras untuk bertahan menghadapi berbagai terpaan. Mulai dari peristiwa alam seperti gempa bumi, tsunami, kemudian adanya penyebaran virus flu burung. Sampai terakhir adanya larangan terbang Uni Eropa (Europe Union/EU) dan perpanjangan larangan EU kepada maskapai penerbangan Indonesia. Larangan ini telah melumpuhkan daerah terpencil yang perekonimiannya sangat bergantung terhadap kunjungan wisatawan, semisal NIas, Toraja, Maluku, Papua. Pada bulan Oktober lalu, The World Economic Forum (WEF) menerbitkan Index Daya Saing Pariwisata dunia. Index ini menempatkan Indonesia pada peringkat 60. Ternyata penilaian WEF tidak hanya diukur dari keindahan alam dan keanekaragaman budaya dari suatu destinasi. Bukan pula semata karena masalah harga yang kurang menarik, ataupun sector swasta yang kalah berbisnis. Daya saing WEF ini didasarkan pada 13 kriteria, yaitu : perundangan, peraturan dan kebijakan yang menata dan mengembangkan pariwisata dan perjalanan, kebijakan lingkungan hidup, keamanan destinasi, kebersihan, kesehatan, penempatan travel and tourism sebagai prioritas pembangunan, infrastruktur perhubungan udara, infrastruktur pariwisata, infrastruktur teknologi informasi, daya saing harga, mutu dan kinerja sumber daya manusia, persepsi nasional terhadap pariwisata, dan terakhir sumber daya alam dan budaya. Selain faktor eksternal, ada juga masalah internal kepariwisataan yang bermuara kepada lemahnya Indonesia bersaing dikancah pariwisata global. Bila kita teliti criteria yang menjadi dasar penilaian WEF, maka sebenarnya kelemahan pariwisat di Indonesia terletak pada lemahnya manajemen dan kepemimpina destinasi di setiap tingkat, lemahnya profesionalisme SDM di semua tingkatan, dan minimnya anggaran pada sektor ini. Ditinjau dari aspek manajemen nasional, pada hakikatnya pengelolaan pariwisata negara ini sekarang telah menjadi ratusan unit otonom, yang menghasilkan pelayanan yang tidak konsisten, dengan mutu yang semakin merosot, dan kurang terjaminnya kenyamanan dan keselamatan wisatawan. Maju dan berkembangnya sektor kepariwisataan tak semata terpaku pada strategi pemasaran dan peningkatan sarana prasarana serta pemeliharaan tempat wisata yang dilakukan oleh instansi pemerintah terkait kepariwisataan. Namun keseluruhan pengelolaan manajemen dalam sektor pariwisata harus dibenahi lagi. Perlu disadari bahwa sektor kepariwisataan sangat menjanjikan bilamana dijalani secara fokus, serta dilandasi niat tulus ikhlas. Jika pihak-pihak terkait sektor kepariwisataan bekerja baik dan professional, sudah barang tentu kepariwisataan akan semakin baik di segala aspek. Dengan demikian, daya saing pariwisata Indonesia dapat semakin meningkat, sejalan dengan semakin membaiknya citra negara dan bangsa Indonesia.


Dengan sistem manajemen yang masih kurang mumpuni, tak heran jika jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia kalah saing dengan Thailand, Malaysia dan Singapura. Walaupun belum mampu disejajarkan dengan negra-negara tetangga, tapi kita patut bersyukur karena wisatawan yang berkunjung mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dilansir Biro Pusat Statistik (BPS) dan Pusdatin Kemenparekraf, hingga bulan Mei 2012, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia mencapai 3.180.779 wisatawan. Hal ini menandakan bahwa kunjungan wisatawan naik 8,81% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penerbangan langsung terbukti menjadi faktor penting untuk menggenjot jumlah wisman. Menurut Mari Elka, realisasi Januari-Mei tersebut sudah melampaui target yakni 3.160.000 wisman. ‘Pertumbuhan wisman yang tetap di atas pertumbuhan perekonomian global maupun pertumbuhan wisman global di tengah-tengah ketidakpastian perekonomian dunia adalah berita baik. Dengan tren peningkatan jumlah wisatawan mancanegara, kita optimistis target 8 juta wisman dan U$9 miliar devisa dapat tercapai tahun ini,” ungkap Mari. Data bulan Mei 2012 menyatakan wisman yang datang berjumlah 650,883 wisman, naik 8.45% dibandingkan bulan lalu sebanyak 626,100 wisman. Bandara Ngurah Rai, Bali masih menjadi gerbang utama kedatangan wisman dengan jumlah 220,508 wisman. Dan secara kumulatif Januari hingga Mei 2012 wisman yang masuk melalui bandara ini sebanyak 1,125, 003 wisman atau tumbuh 5,6%. Sedangkan pintu masuk kedua Soekarno-Hatta, Jakarta, sebanyak 185.932 wisman atau mengalami pertumbuhan sebesar 23,62%. Pintu masuk lain yang juga tercatat mengalami pertumbuhan tinggi pada bulan Mei 2012 adalah Husein Sastranegara, Bandung sebanyak 12.597 wisman atau mengalami pertumbuhan sebesar 34,05% dan Adi Sumarmo, Solo sebanyak 3.325 wisman atau mengalami pertumbuhan sebesar 30,80%. Untuk negara asal wisman yang berkunjung ke Indonesia melalui 19 pintu masuk utama pada bulan Mei 2012 terbesar berasal dari Malaysia (108.176 orang), Singapura (99.676), Australia (71.640), RRT (43.457), dan Jepang (30.791). Selain kenaikan, ada beberapa tren angka pertumbuhan wisman yang menarik. Setelah mengalami pertumbuhan rendah dan bahkan menurun, jumlah wisman Jepang yang berkunjung ke Indonesia mulai positif sejak bulan Maret 2012, dan pada bulan Mei 2012 pertumbuhannya mencapai 12,01% dibanding bulan Mei 2011. Hasil analisa Direktorat Pengembangan Pasar Kemenparekraf sejauh ini mengkonfirmasi kenaikan jumlah wisman dengan penerbangan langsung.Kenaikan di pintu masuk Soekarno Hatta karena adanya tambahan seats penerbangan langsung dari pasar Malaysia sebanyak 268,580 seats. Selain Garuda Indonesia, tambahan seats juga disumbangkan oleh maskapai Malaysian Airlines, Jet Star dan Qantas. Secara kumulatif pada periode Januari sampai Mei 2012, asal kebangsaan wisman yang berkunjung ke Indonesia dibanding dengan periode yang sama tahun 2011 secara umum pertumbuhannya positif. Kontribusi Wisman lima terbesar berturut-turut adalah asal kebangsaan Singapura (478.680 orang), Malaysia (459.586), Australia (342.161), RRT (264.715) dan Jepang (166.774).


Melihat bahwa wisatawan semakin meningkat kunjungannya, menjadikan perawatan tempat wisata merupakan sutu hal pokok yang benar-benar harus diperhatikan. Sarana dan prasarana penunjang pariwisata pun harus diperhatikan. Hal ini tentulah yang akan menjadi salah satu fakor kenyamanan para wisatawan. Sehingga jika wisatawan merasa nyaman, tentulah mereka akan dating kembali ke tempat wisata di Indonesia. Namun sejauh ini, tempat-tempat wisata yang ada masih belum dikelola dengan baik, minim fasilitas dan hiburan, juga tidak didukung akses jalan yang memadai. Selain itu, kelemahan yang dimiliki oleh objek wisata di negeri ini adalah kurangnya dalam hal pemeliharaan, perawatan dan pengawasannya sehingga banyak objek wisata berkurang nilai keindahannya. Inilah yang menjadi sebab, banyaknya tempat wisata yang ada di Indonesia namun hanya beberapa saja yang terkenal. Sebagai contoh objek wisata di Minahasa Selatan. Dikatakan Ketua Federasi Panjat Tebing Kabupaten Minsel ini, sejumlah objek wisata yang terkesan dibiarkan dan kondisinya tidak terawat diantaranya objek wisata Batu Dinding yang terletak di Desa Kilo tiga Kecamatan Amurang, Pantai Moinit, air Jatuh yang ada di Desa Toyopon Kecamatan Motoling Barat, batu Kapal yang ada di desa Sapa Kecamatan Tenga, Kuntum Ramoy yang ada di Modoinding, Bukit doa yang ada di Desa Pinaling kecamatan Amurang Timur, pantai pasir putih yang ada di kecamatan Tatapaan. Begitu pula dengan pengelolaan peninggalan budayanya. Pengelolaan peninggalan budaya masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan peninggalan budaya Yunani, Roma, Mesir, kemampuan kita masih tertinggal. Bahkan di kawasan ASEAN saja pengelolaan peninggalan budaya kita masih ketinggalan dibandingkan dengan Thailand atau Kamboja dengan Angkor Wat nya. Kesemua hal yang dituturkan tersebut, tak akan lepas dari seberapa besar perhatian pemerintah terhadap sector pariwisata. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan di negara ini akan memudahkan Pemerintah Pusat dalam pengeloaan daerah. Tujuan dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan daya saing daerah. Tujuan pelaksanaan otonomi daerah ini harus menjadi fokus kebijakan Pemerintah Daerah dalam seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kita pernah mengalami masa emas perkembangan pariwisata. Pada Tahun 1995, sektor pariwisata sempat menjadi sektor penghasil devisa terbesar, dengan perolehan devisa sekitar 15 milyar dollar AS, ketika ekspor kayu, tekstil, dan migas mengalami penurunan. Namun pasca tahun 1998, sektor ini mengalami penurunan yang cukup signifikan sebagai dampak gejolak sosial politik dalam negeri, sehingga kunjungan wisatawan manca negara menurun drastis. Kerjasama sinergis antara Pemerintah Daerah, pihak swasta, dan masyarakat dalam mengembangkan sektor pariwisata di daerah, agar dapat terwujud manajemen kepariwisataan yang baik pada seluruh bidang pendukung, sehingga dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap daya tarik wisatawan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan asli daerah, pendapatan masyarakat, dan berkontribusi pula terhadap peningkatan devisa negara. Peran dan kontribusi sektor swasta harus terus didorong dan difasilitasi dalam pengembangan pariwisata, karena selama ini hampir sebagian besar obyek pariwisata dikelola oleh Pemerintah Daerah. Di suatu provinsi misalnya, lebih dari 90% obyek pariwisata dikelola oleh Pemerintah Daerah. Hal ini akan mengakibatkan tingginya tingkat ketergantungan manajamen obyek wisata terhadap alokasi dana APBD. Pemerintah Daerah perlu memberikan perhatian khusus untuk meningkatkan keberhasilan sektor pariwisata, antara lain dengan mengalokasikan dana APBD yang proporsional untuk membiayai pembangunan infrastruktur kepariwisataan (seperti jalan, listrik, dan telekomunikasi), memfasilitasi masyarakat dan pihak swasta dalam mengelola potensi wisata (seperti wisata budaya dan wisata alam), serta promosi dan pemasaran potensi wisata yang ada di daerah. Sinergi tiga pilar manajemen kepariwisataan, yakni Pemerintah Daerah, pihak swasta, dan masyarakat, merupakan kekuatan utama dalam meningkatkan perkembangan sektor kepariwisataan di daerah. Kelemahan peran dari salah satu pilar, akan sangat menghambat upaya pengembangan kepariwisataan.



Sumber :

 

ANGGUN's BLOG Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates