Harus diakui bahwa Indonesia semakin
tertinggal dalam persaingan kepariwisataan di kawasan ASEAN dibanding Thailand,
Malaysia, dan Singapura. Padahal Indonesia memiliki begitu kaya dengan aneka ragam
budaya dan alam yang indah dan memukau. Sebenarnya mengapa Indonesia begitu
tertinggal, bahkan seakan ditinggalkan oleh wisatawan dunia belakangan ini? Memang
banyak yang dialami oleh sektor pariwisata. Sekalipun, para pelakunya telah berusaha
keras untuk bertahan menghadapi berbagai terpaan. Mulai dari peristiwa alam
seperti gempa bumi, tsunami, kemudian adanya penyebaran virus flu burung. Sampai
terakhir adanya larangan terbang Uni Eropa (Europe Union/EU) dan perpanjangan
larangan EU kepada maskapai penerbangan Indonesia. Larangan ini telah
melumpuhkan daerah terpencil yang perekonimiannya sangat bergantung terhadap
kunjungan wisatawan, semisal NIas, Toraja, Maluku, Papua. Pada bulan Oktober
lalu, The World Economic Forum (WEF) menerbitkan Index Daya Saing Pariwisata
dunia. Index ini menempatkan Indonesia pada peringkat 60. Ternyata penilaian
WEF tidak hanya diukur dari keindahan alam dan keanekaragaman budaya dari suatu
destinasi. Bukan pula semata karena masalah harga yang kurang menarik, ataupun sector
swasta yang kalah berbisnis. Daya saing WEF ini didasarkan pada 13 kriteria,
yaitu : perundangan, peraturan dan kebijakan yang menata dan mengembangkan
pariwisata dan perjalanan, kebijakan lingkungan hidup, keamanan destinasi,
kebersihan, kesehatan, penempatan travel and tourism sebagai prioritas
pembangunan, infrastruktur perhubungan udara, infrastruktur pariwisata,
infrastruktur teknologi informasi, daya saing harga, mutu dan kinerja sumber
daya manusia, persepsi nasional terhadap pariwisata, dan terakhir sumber daya
alam dan budaya. Selain faktor eksternal, ada juga masalah internal
kepariwisataan yang bermuara kepada lemahnya Indonesia bersaing dikancah
pariwisata global. Bila kita teliti criteria yang menjadi dasar penilaian WEF,
maka sebenarnya kelemahan pariwisat di Indonesia terletak pada lemahnya
manajemen dan kepemimpina destinasi di setiap tingkat, lemahnya profesionalisme
SDM di semua tingkatan, dan minimnya anggaran pada sektor ini. Ditinjau dari
aspek manajemen nasional, pada hakikatnya pengelolaan pariwisata negara ini
sekarang telah menjadi ratusan unit otonom, yang menghasilkan pelayanan yang
tidak konsisten, dengan mutu yang semakin merosot, dan kurang terjaminnya
kenyamanan dan keselamatan wisatawan. Maju dan berkembangnya sektor kepariwisataan tak semata terpaku
pada strategi pemasaran dan peningkatan sarana prasarana serta pemeliharaan
tempat wisata yang dilakukan oleh instansi pemerintah terkait kepariwisataan. Namun
keseluruhan pengelolaan manajemen dalam sektor pariwisata harus dibenahi lagi. Perlu
disadari bahwa sektor kepariwisataan sangat menjanjikan bilamana dijalani
secara fokus, serta dilandasi niat tulus ikhlas. Jika pihak-pihak terkait
sektor kepariwisataan bekerja baik dan professional, sudah barang tentu
kepariwisataan akan semakin baik di segala aspek. Dengan demikian, daya saing
pariwisata Indonesia dapat semakin meningkat, sejalan dengan semakin membaiknya
citra negara dan bangsa Indonesia.
Dengan sistem manajemen yang masih kurang
mumpuni, tak heran jika jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke
Indonesia kalah saing dengan Thailand, Malaysia dan Singapura. Walaupun belum
mampu disejajarkan dengan negra-negara tetangga, tapi kita patut bersyukur
karena wisatawan yang berkunjung mengalami peningkatan. Berdasarkan data
yang dilansir Biro Pusat Statistik (BPS) dan Pusdatin Kemenparekraf, hingga
bulan Mei 2012, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke
Indonesia mencapai 3.180.779 wisatawan. Hal ini menandakan bahwa kunjungan
wisatawan naik 8,81% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penerbangan
langsung terbukti menjadi faktor penting untuk menggenjot jumlah wisman. Menurut
Mari Elka, realisasi Januari-Mei tersebut sudah melampaui target yakni
3.160.000 wisman. ‘Pertumbuhan wisman yang tetap di atas pertumbuhan
perekonomian global maupun pertumbuhan wisman global di tengah-tengah
ketidakpastian perekonomian dunia adalah berita baik. Dengan tren peningkatan
jumlah wisatawan mancanegara, kita optimistis target 8 juta wisman dan U$9
miliar devisa dapat tercapai tahun ini,” ungkap Mari. Data bulan Mei 2012
menyatakan wisman yang datang berjumlah 650,883 wisman, naik 8.45% dibandingkan
bulan lalu sebanyak 626,100 wisman. Bandara Ngurah Rai, Bali masih menjadi
gerbang utama kedatangan wisman dengan jumlah 220,508 wisman. Dan secara
kumulatif Januari hingga Mei 2012 wisman yang masuk melalui bandara ini
sebanyak 1,125, 003 wisman atau tumbuh 5,6%. Sedangkan pintu masuk kedua
Soekarno-Hatta, Jakarta, sebanyak 185.932 wisman atau mengalami pertumbuhan
sebesar 23,62%. Pintu masuk lain yang juga tercatat mengalami pertumbuhan
tinggi pada bulan Mei 2012 adalah Husein Sastranegara, Bandung sebanyak 12.597
wisman atau mengalami pertumbuhan sebesar 34,05% dan Adi Sumarmo, Solo sebanyak
3.325 wisman atau mengalami pertumbuhan sebesar 30,80%. Untuk negara asal
wisman yang berkunjung ke Indonesia melalui 19 pintu masuk utama pada bulan Mei
2012 terbesar berasal dari Malaysia (108.176 orang), Singapura (99.676),
Australia (71.640), RRT (43.457), dan Jepang (30.791). Selain kenaikan, ada
beberapa tren angka pertumbuhan wisman yang menarik. Setelah mengalami
pertumbuhan rendah dan bahkan menurun, jumlah wisman Jepang yang berkunjung ke
Indonesia mulai positif sejak bulan Maret 2012, dan pada bulan Mei 2012
pertumbuhannya mencapai 12,01% dibanding bulan Mei 2011. Hasil analisa
Direktorat Pengembangan Pasar Kemenparekraf sejauh ini mengkonfirmasi kenaikan
jumlah wisman dengan penerbangan langsung.Kenaikan di pintu masuk Soekarno
Hatta karena adanya tambahan seats penerbangan langsung dari pasar Malaysia
sebanyak 268,580 seats. Selain Garuda Indonesia, tambahan seats juga
disumbangkan oleh maskapai Malaysian Airlines, Jet Star dan Qantas. Secara
kumulatif pada periode Januari sampai Mei 2012, asal kebangsaan wisman yang
berkunjung ke Indonesia dibanding dengan periode yang sama tahun 2011 secara
umum pertumbuhannya positif. Kontribusi Wisman lima terbesar berturut-turut
adalah asal kebangsaan Singapura (478.680 orang), Malaysia (459.586), Australia
(342.161), RRT (264.715) dan Jepang (166.774).
Melihat bahwa wisatawan semakin meningkat kunjungannya, menjadikan
perawatan tempat wisata merupakan sutu hal pokok yang benar-benar harus
diperhatikan. Sarana dan prasarana penunjang pariwisata pun harus diperhatikan.
Hal ini tentulah yang akan menjadi salah satu fakor kenyamanan para wisatawan. Sehingga
jika wisatawan merasa nyaman, tentulah mereka akan dating kembali ke tempat
wisata di Indonesia. Namun sejauh ini, tempat-tempat wisata
yang ada masih belum dikelola dengan baik, minim fasilitas dan hiburan, juga
tidak didukung akses jalan yang memadai. Selain itu, kelemahan yang dimiliki
oleh objek wisata di negeri ini adalah kurangnya dalam hal pemeliharaan,
perawatan dan pengawasannya sehingga banyak objek wisata
berkurang nilai keindahannya. Inilah yang menjadi sebab, banyaknya tempat
wisata yang ada di Indonesia namun hanya beberapa saja yang terkenal. Sebagai contoh
objek wisata di Minahasa Selatan. Dikatakan Ketua Federasi Panjat Tebing
Kabupaten Minsel ini, sejumlah objek wisata yang terkesan dibiarkan dan
kondisinya tidak terawat diantaranya objek wisata Batu Dinding yang terletak di
Desa Kilo tiga Kecamatan Amurang, Pantai Moinit, air Jatuh yang ada di Desa
Toyopon Kecamatan Motoling Barat, batu Kapal yang ada di desa Sapa Kecamatan
Tenga, Kuntum Ramoy yang ada di Modoinding, Bukit doa yang ada di Desa Pinaling
kecamatan Amurang Timur, pantai pasir putih yang ada di kecamatan Tatapaan. Begitu pula dengan
pengelolaan peninggalan budayanya. Pengelolaan peninggalan budaya masih
belum ada apa-apanya dibandingkan dengan peninggalan budaya Yunani, Roma,
Mesir, kemampuan kita masih tertinggal. Bahkan di kawasan ASEAN saja
pengelolaan peninggalan budaya kita masih ketinggalan dibandingkan dengan
Thailand atau Kamboja dengan Angkor Wat nya. Kesemua hal yang dituturkan tersebut, tak akan
lepas dari seberapa besar perhatian pemerintah terhadap sector pariwisata. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan di negara
ini akan memudahkan Pemerintah Pusat dalam pengeloaan daerah. Tujuan dari
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan
rakyat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat, pemberdayaan
masyarakat, dan peningkatan daya saing daerah. Tujuan pelaksanaan otonomi
daerah ini harus menjadi fokus kebijakan Pemerintah Daerah dalam seluruh proses
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kita pernah mengalami masa emas
perkembangan pariwisata. Pada Tahun 1995, sektor pariwisata sempat menjadi
sektor penghasil devisa terbesar, dengan perolehan devisa sekitar 15 milyar
dollar AS, ketika ekspor kayu, tekstil, dan migas mengalami penurunan. Namun
pasca tahun 1998, sektor ini mengalami penurunan yang cukup signifikan sebagai
dampak gejolak sosial politik dalam negeri, sehingga kunjungan wisatawan manca
negara menurun drastis. Kerjasama sinergis antara Pemerintah Daerah, pihak
swasta, dan masyarakat dalam mengembangkan sektor pariwisata di daerah, agar
dapat terwujud manajemen kepariwisataan yang baik pada seluruh bidang
pendukung, sehingga dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap daya tarik
wisatawan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan asli daerah,
pendapatan masyarakat, dan berkontribusi pula terhadap peningkatan devisa
negara. Peran dan kontribusi sektor swasta harus terus didorong dan
difasilitasi dalam pengembangan pariwisata, karena selama ini hampir sebagian
besar obyek pariwisata dikelola oleh Pemerintah Daerah. Di suatu provinsi
misalnya, lebih dari 90% obyek pariwisata dikelola oleh Pemerintah Daerah. Hal
ini akan mengakibatkan tingginya tingkat ketergantungan manajamen obyek wisata
terhadap alokasi dana APBD. Pemerintah Daerah perlu memberikan perhatian khusus
untuk meningkatkan keberhasilan sektor pariwisata, antara lain dengan
mengalokasikan dana APBD yang proporsional untuk membiayai pembangunan infrastruktur
kepariwisataan (seperti jalan, listrik, dan telekomunikasi), memfasilitasi
masyarakat dan pihak swasta dalam mengelola potensi wisata (seperti wisata
budaya dan wisata alam), serta promosi dan pemasaran potensi wisata yang ada di
daerah. Sinergi tiga pilar manajemen kepariwisataan, yakni Pemerintah Daerah,
pihak swasta, dan masyarakat, merupakan kekuatan utama dalam meningkatkan
perkembangan sektor kepariwisataan di daerah. Kelemahan peran dari salah satu
pilar, akan sangat menghambat upaya pengembangan kepariwisataan.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar